Gambar sampul hanya pemanis |
Cerita Rakyat dari Kecamatan Pancur Kabupaten Rembang
Sebagian besar masyarakat di Kabupaten Rembang ini mungkin sudah pernah mendengar atau mengenal nama sebuah desa bernama TUYUHAN yang terletak di Kecamatan Pancur, Kabupaten Rembang. Bahkan, mungkin sebagian sudah pernah masuk ke kawasan tersebut karena memang desa Tuyuhan terkenal dengan masakan khasnya "Lonthong Tuyuhan". Bagaimana asal usul nama desa Tuyuhan itu di tetapkan? Jika ingin tahu, inilah ceritanya.
Sekitar tahun 1732 datanglah seseorang lelaki dari Lasem bernama Eyang Jumali. Eyang Jumali merupakan salah satu keturunan Eyang Sambu, yang makamnya kita ketahui berada di lingkungan masjid agung Lasem. Adapun maksud dan tujuan Eyang Jumali datang ke tempat yang baru, yang masuh berupa hutan itu untuk mendirikan sebuah perkampungan. Jika keinginannya telah terwujud, untuk selanjutnya ingin mendirikan tempat padepokan guna menyebarkan agama Islam. Karena itulah dalam perjalanannya setelah memperoleh sebuah tempat yang dianggapnya cocok untuk mewujudkan cita-citanya, Eyang Jumali segera mendirikan sebuah gubug sederhana di pinggir sungai. Tak lama kemudian, Eyang Jumali sudah berhasil merekrut orang-orang yang ada di sekitarnya untuk diajak mempelajari ilmu agama Islam.
Rupanyaupaya Eyang Jumali untuk menyebarkan agama Islam di tempat yang baru itu tidaklah sia-sia. dalam kurun waktu yang tak begitu lama, telah banyak orang yang mau bergabung dengannya. Padepokan yang semula hanya sebuah gubug itu telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Tempat yang semula dianggap sebagai tempat yang angket itu telah berubah menjadi sebuah perkampungan yang banyak dihuni banyak orang. Hanya saja, meski tempat yang angker itu telah berubah menjadi sebuah perkampungan, keangkeran tempat itu masuk belum sepenuhnya dianggap sirna. Oleh warga yang tinggal di tempat itu, mereka masih meyakini ada dua buah batu angker yang terletak di tengah sungai.
Melihat kenyataan itu, untuk menghapus keyakinan para pengikutnya bahwa dua buah batu yang terdapat di tengah sungai itu memiliki keangkeran yang luar biasa, Eyang Jumali mempunya kiat yang unik. Karena memang rumah Eyang Jumali berada di tepi sungai, oleh Eyang Jumali dua buah batu yang dianggap angker itu dijadikan tempat berbuang hajat. Dengan kata lain, dua buah batu itu oleh Eyang Jumali dijadikan sebagai tempat untuk berak dan kencing. Dalam bahasa Jawanya, "watu panggonan kanggo wuyuhan". Setiap hari Eyang Jumali membuang hajatnya, baik berak maupun kencing selalu berada di atas dua batu yang dianggap angker di tengah sungai tersebut.
Rupanya, upaya Eyang Jumali untuk menghilangkan keyakinan warganya dari keangkeran dua batu ditengah sungai tersebut berhasil. Lama kelamaan, kepercayaan warga tentang keangkeran batu tersebut mulai hilang. Oleh karena itu, untuk mengenang jasa Eyang Jumali, setelah padepokan tersebut berubah menjadi sebuah perkampungan yang ramai, perkampungan tersebut dinamakan desa Tuyuhan. Berasal dari kata "WATU KANGGO WUYUHAN". Sebagai bukti atas kebenaran cerita ini, kedua batu tersebut hingga kini masih ada dan dapat kita saksikan keberadaannya
Kini padepokan milik Eyang Jumali tersebut telah berubah menjadi sebuah pesantren yang dipimpin oleh seorang ulama bernama Kyai Ahmadi. Adapun urutan-urutan nasab Eyang Jumali hingga Kyai Ahmadi sebagai berikut:
Eyang Jumali mempunya seorang putri bernama NYAI RODHILAH, selanjutnya Nyai Rodhilah mempunyai seorang putra bernama Kyai Abdul Rohman. Kyai Abdul Rohman mempunyai seorang putra bernama Kyai Ibrohim. Kyai Ibrohim mempunyai putra bernama Kyai Haji Tabelawi, selanjutnya Kyai Haji Tabelawi mempunyai seorang putra bernama Kyai Ahmadi yang memimpin pesantren hingga sekarang ini. Dengan demikian, jika kita meliha urutan nasab tersebut, Kyai Ahmadi adalah keturunan ke-6 dari Eyang Jumali.
Tentang keberadaan Eyang Jumali sebagai tokoh pengembang agama Islam, selain beliau memiliki ilmu agama yang cukup tinggi, beliau juga memiliki keampuhan lain yang tidak dimiliki oleh sembarang orang, diantaranya:
Sekitar tahun 1732 datanglah seseorang lelaki dari Lasem bernama Eyang Jumali. Eyang Jumali merupakan salah satu keturunan Eyang Sambu, yang makamnya kita ketahui berada di lingkungan masjid agung Lasem. Adapun maksud dan tujuan Eyang Jumali datang ke tempat yang baru, yang masuh berupa hutan itu untuk mendirikan sebuah perkampungan. Jika keinginannya telah terwujud, untuk selanjutnya ingin mendirikan tempat padepokan guna menyebarkan agama Islam. Karena itulah dalam perjalanannya setelah memperoleh sebuah tempat yang dianggapnya cocok untuk mewujudkan cita-citanya, Eyang Jumali segera mendirikan sebuah gubug sederhana di pinggir sungai. Tak lama kemudian, Eyang Jumali sudah berhasil merekrut orang-orang yang ada di sekitarnya untuk diajak mempelajari ilmu agama Islam.
Rupanyaupaya Eyang Jumali untuk menyebarkan agama Islam di tempat yang baru itu tidaklah sia-sia. dalam kurun waktu yang tak begitu lama, telah banyak orang yang mau bergabung dengannya. Padepokan yang semula hanya sebuah gubug itu telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Tempat yang semula dianggap sebagai tempat yang angket itu telah berubah menjadi sebuah perkampungan yang banyak dihuni banyak orang. Hanya saja, meski tempat yang angker itu telah berubah menjadi sebuah perkampungan, keangkeran tempat itu masuk belum sepenuhnya dianggap sirna. Oleh warga yang tinggal di tempat itu, mereka masih meyakini ada dua buah batu angker yang terletak di tengah sungai.
Melihat kenyataan itu, untuk menghapus keyakinan para pengikutnya bahwa dua buah batu yang terdapat di tengah sungai itu memiliki keangkeran yang luar biasa, Eyang Jumali mempunya kiat yang unik. Karena memang rumah Eyang Jumali berada di tepi sungai, oleh Eyang Jumali dua buah batu yang dianggap angker itu dijadikan tempat berbuang hajat. Dengan kata lain, dua buah batu itu oleh Eyang Jumali dijadikan sebagai tempat untuk berak dan kencing. Dalam bahasa Jawanya, "watu panggonan kanggo wuyuhan". Setiap hari Eyang Jumali membuang hajatnya, baik berak maupun kencing selalu berada di atas dua batu yang dianggap angker di tengah sungai tersebut.
Rupanya, upaya Eyang Jumali untuk menghilangkan keyakinan warganya dari keangkeran dua batu ditengah sungai tersebut berhasil. Lama kelamaan, kepercayaan warga tentang keangkeran batu tersebut mulai hilang. Oleh karena itu, untuk mengenang jasa Eyang Jumali, setelah padepokan tersebut berubah menjadi sebuah perkampungan yang ramai, perkampungan tersebut dinamakan desa Tuyuhan. Berasal dari kata "WATU KANGGO WUYUHAN". Sebagai bukti atas kebenaran cerita ini, kedua batu tersebut hingga kini masih ada dan dapat kita saksikan keberadaannya
Kini padepokan milik Eyang Jumali tersebut telah berubah menjadi sebuah pesantren yang dipimpin oleh seorang ulama bernama Kyai Ahmadi. Adapun urutan-urutan nasab Eyang Jumali hingga Kyai Ahmadi sebagai berikut:
Eyang Jumali mempunya seorang putri bernama NYAI RODHILAH, selanjutnya Nyai Rodhilah mempunyai seorang putra bernama Kyai Abdul Rohman. Kyai Abdul Rohman mempunyai seorang putra bernama Kyai Ibrohim. Kyai Ibrohim mempunyai putra bernama Kyai Haji Tabelawi, selanjutnya Kyai Haji Tabelawi mempunyai seorang putra bernama Kyai Ahmadi yang memimpin pesantren hingga sekarang ini. Dengan demikian, jika kita meliha urutan nasab tersebut, Kyai Ahmadi adalah keturunan ke-6 dari Eyang Jumali.
Tentang keberadaan Eyang Jumali sebagai tokoh pengembang agama Islam, selain beliau memiliki ilmu agama yang cukup tinggi, beliau juga memiliki keampuhan lain yang tidak dimiliki oleh sembarang orang, diantaranya:
- Eyang Jumali mendirikan padepokan berada di tepi sungai. Tetapi setiap musim hujan datang, dan terjadinya banjir tidak dapat dihindari, padepokan Eyang Jumali tidak pernah kemasukan air. Air banjir yang datang hanya terbendung secara ghaib di sekitar padepokan Eyang Jumali.
- Pada sekitar tahun 1739 H, rumah salah seorang saudara Eyang Jumali yang tinggal di Nganjuk Jawa Timur mengalami kebakaran. Tanpa diberitahu terlebih dahulu, Eyang Jumali dapat mengetahui musibah yang dialami oleh saudaranya itu. Maka dari itu, Eyang Jumali segera mengajak beberapa orang pengikutnya untuk pergi ke sungai yang ada di sisi padepokan, dan selanjutnya para pengikutnya itu diajak menyiramkan air ke arah timur. Apa yang terjadi? Rumah saudaranya yang terbakar di musim kemarau di daerah Nganjuk itu tiba-tiba dilanda hujan yang sangat lebat. Api yang membakar rumah saudaranya itu akhirnya padam dalam waktu sesaat karena hujan yang lebat tersebut.
- Kerena kemampuan Eyang Jumali yang seperti itu, membuat kebesaran nama Eyang Jumali semakin melambung. Bahkan para penguasa pada waktu itu merasa takut dan sangat menghormatinya. Sebagai bentuk rasa takut dan hormatnya, para penguasa dari tingkat tinggi hingga kepala desa merasa tabu menginjakkan kakinya di desa Tuyuhan karena takutnya. Barulah setelah negara kita ini merdeka, ketebuan dari para penguasa itu dihilangkan. Sekedar untuk diketahui, desa Tuyuhan terdiri dari 4 dukuhan, yaitu dukuh Tuyuhan Kidul, Tuyuhan Lor, Muragan, dan Karanglo. Pada masa penjajahan Belanda, letak rumah Kepala Desa selalu berada di luar dukuh Tuyuhan. Kepala Desa memilih tinggal di dukuh Karanglo atau dukuh Muragan. Itulah cerita tentang asal-usul kejadian desa Tuyuhan dan berbagai bentuk perjalanan hidupnya. Hingga kini kebenaran cerita rakyat tersebut oleh masyarakat kecamatan Pancur, khususnya warga desa Tuyuhan masih diakui kebenarannya. (KusYS).
No comments:
Post a Comment